Bakso Murah tapi Bukan Murahan
Pontianak
– Pak de (53), itulah panggilan akrab seorang tukang bakso yang selalu mangkal
di Jalan Paris Haji Husin 1. Hampir setiap hari Pak de memarkirkan gerobak tuanya
di depan Gang Ilham menunggu pelanggan datang. Ia tidak pernah lelah mendorong
gerobak baksonya demi mencari rezeki untuk menghidupi keluarga.
Sore
itu hari terlihat sangat bersahabat. Langit begitu tampak cerah meskipun
menjelang senja. Langit biru yang menghampar dihiasi sedikit awan putih. Jam
sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Pak de pun mulai mempersiapkan segala
perlengkapan untuk baksonya. Ia akan segera beranjak dari rumahnya menuju
tempat ia mangkal setiap harinya. Pak de kembali lagi dengan aktivitas
rutinnya. Rute menuju tempat mangkal tidak begitu jauh. Sekitar 500 meter dari
rumahnya. Dengan baju kaos abu-abu yang warnanya sudah memudar dan celana kain
hitam, ia berjalan santai sambil mendorong gerobak tuanya menuju tempat
mangkalnya. Dengan umur yang sudah tidak muda lagi dan rambut yang sebagian
sudah mulai memutih tidak mengalahkan semangatnya untuk mencari nafkah demi
anak istrinya.
Darsono
atau Pak de adalah seorang penjual bakso keliling yang berasal dari Jawa tengah
tepatnya Solo. Ia sudah hampir tujuh tahun tinggal di Pontianak. Pak de tinggal
bersama tiga orang anak dan istrinya. Sekarang ia tinggal di sebuah rumah
kontrakan di Jalan Parit Haji Husin 1 Gang Sukses no 19. Di rumah yang cukup
sempit itulah Pak de dan keluarga hidup bahagia meskipun dengan kehidupan yang apa
adanya dan sederhana. Ia adalah orang yang ramah tamah dan mudah bergaul. Berjualan
bakso sudah ia lakoni sejak ia kecil bersama bapaknya. “saya sudah berjualan
seperti ini semenjak saya masih kecil. Saya bantu-bantu bapak berjualan bakso”,
ujarnya sambil mengemas pesanan bakso pelanggannya.
Ia
berjalan santai sambil mendorong gerobak baksonya yang siap memanjakan lidah
pelanggannya. Sepanjang rute yang ditempuh menuju tempat ia memarkikan gerobak
tuanya, ia sudah ditunggu pelanggannnya. Pak de memang sudah dikenal ramai
orang khususnya penikmat bakso. Tidak jarang ia dipanggil untuk mampir di salah
satu rumah pembeli. Dengan gayanya yang bersahaja, ia langsung memenuhi
permintaan pembeli dan melayaninya dengan ramah. Semetara, sudah beberapa orang
yang tidak sabar menunggu di depan rumah mereka dengan membawa mangkok. Bahkan,
hampir setiap gang ada pelanggan yang selalu menunggu kehadiran bakso Pak de.
Hal ini dikarenakan Pak de yang menjual baksonya dengan harga yang murah dan
tidak kalah enak dengan bakso-bakso ternama di luar sana.
Harga
bakso yang murah dan enak itulah yang memuat Pak de dikenal banyak orang.
Harganya bervariasi, sesuai kemampuan pelanggan. Sore itu, sekitar pukul 17.30
saya pulang dari kuliah dan tampak Pak de yang sedang berjalan sambil mendorong
gerobak tuanya itu. Saya berhenti berniat untuk membeli baksonya. Sudah
terlihat tiga orang yang sedang menunggu baksonya disiapkan oleh Pak de. Ketika
ketiga orang itu sudah selesai. Saya mencoba menghampiri, “Pak de bakso satu
ya...dibungkus”. Dengan cepat ia menyiapkan bakso pesanan saya. Setelah hampir
selesai, dengan medok jawanya ia selalu bertanya “pedas, manis”, yang artinya
baksonya itu maunya yang pedas atau manis. Lalu saya pun menjawab dengan cepat
“manis Pak de”. Ia pun langsung memasukkan kecap manis.
Berkat
keramah tamahan Pak De itulah, pembeli bakso sangat ramai. Ditambah lagi, baksonya
yang terasa sangat enak, kalau kata-kata orang sekarang maknyos buaget. Pelanggan Pak de tidak hanya orang-orang dewasa, anak
kecil pun tak kalah ramainya. Selain itu, bakso yang Pak de jajakan, tidak
seperti bakso-bakso lainnya. Bedanya, bakso Pak de ini terkenal dengan murah
dan enak. Tidak jarang pelanggan yang datang membeli dengan harga Rp 3000,00. “Pak
de, baksonya tiga ribu aja”, ujar seorang anak kecil yag berumur sekitar lima
tahun itu. Ia adalah pelanggan tetap Pak de. Kita bisa bayangkan, masih adakah
bakso di luar sana yang semurah itu. Bagi Pak de tetap masih ada. Ia tidak
terlalu memikirkan untung ruginya, yang penting ia bisa menjual baksonya dengan
laris dan pelanggan pun senang. “ya,,,tidak apa-apalah, daripada bakso saya
tidak laku terjual. Alhamdulillah masih ada yang beli meskipun dengan harga
seperti itu”, ucapnya dengan medok jawa sambil memberikan bumbu ke dalam bakso
pesanan pembelinya itu.
Untuk
bakso seharga mahasiswa, biasanya harga Rp 5000,00, itulah yang membuat
mahasiswa senang membeli bakso Pak de. Ia mengerti dengan keuangan seorang mahasiswa.
“kalau mahasiswa biasanya mereka beli dengan harga Rp 5000,00. Ya..tidak
apa-apa ngertilah dengan mahasiswa” ujarnya. “itulah senang beli bakso Pak de,
bisa beli dengan harga Rp 5000,00, baksonya enak dan murah, jarang-jarang ada”,
tambah seorang mahasiswa yang bernama Nengsih yang baru saja datang menghampiri.
Namun, harga standarnya Rp 8000,00. Bakso dengan harga Rp 5000,00 ini tidak
kalah dengan bakso-bakso diluar sana. Baksonya juga banyak, bahkan mangkok
hampir penuh terisi. Dengan 5 butir pentol dan 1 tahu cukup membuat perut
kenyang.
Selama
perjalanan sekitar 500 meter itu, pembeli terbilang ramai bahkan hampir belasan
orang yang membeli baksonya. Kadang-kadang ia sampai kekurangan waktu untuk
melayani pelanggan. Meskipun harus menjual baksonya, Pak de tidak penah lupa
menyempatkan diri untuk menjalankan kewajibannya. Sering ia terlihat
tergesa-gesa ketika sudah waktunya untuk shalat magrib. Dari Gang Sukses ke
Gang Ilham, terdapat Mesjid Baiturrohim. Di mesjid itulah ia menjalankan
kewajibanya dan tidak pernah ia lupa memarkirkan gerobak tuanya di samping
mesjid itu.
Ketika
selesai shalat, ia melanjutkan lagi perjalanannya. Kadang, sudah ada pelanggan
yang menunggu di dekat gerobaknya ketika ia baru saja keluar dari mesjid.
Itulah Pak de, tidak pernah merasa capek, lelah, dan tetap semangat melayani
pelanggan yang datang. dengan logat jawa yang sangat melekat, ia bertanya
“bakso dek?, makan di sini, bungkus?” itulah pertanyaan yang selalu ia
lontarkan kepada pelanggan yang datang.
Setelah
selesai melayani pembeli yang datang, ia melanjutkan perjalanannya menuju gang
Ilham yang merupakan tempat biasanya ia mangkal. Di situlah ia duduk beberapa
jam menunggu pembeli yang datang ketika malam datang. Dinginnya angin malam
yang menusuk tulang, tidak mengalahkan semangatnya. Rasa lelah dan capek tidak
pernah ia pedulikan. Malam hari merupakan waktu beristirahat untuk kebanyakan orang.
Akan tetapi, tidak untuk Pak de. Pada malam hari itulah merupakan waktu ia
mengais rezeki untuk menafkahi anak dan istrinya. Namun, itu semua terbayarkan
ketika pembeli yang datang silih berganti. Itu semua dapat membayar rasa lelah
dan capeknya.
Banyaknya
penghasilan juga salah satu hal yang dapat membayar rasa lelah dan capek ketika
berjulalan. Penghasilan yang didapat tidak tetap. “jika pembeli banyak,
penghasilannya bisa mencapai Rp 300.000- 350.000,00. Akan tetapi jika pembeli
sepi, penghasilan yang didapat hanya Rp 70.000- 100.000,00 “ ucapnya sambil
membersihkan sisa sayur dan mie yang berjatuhan ketika ia mengemas pesanan.
Berjualan di ruang terbuka seperti itu sangat bergantung pada cuaca. Apabila
cuaca lagi tidak bersahabat yaitu hujan. Pak de tidak dapat menjual baksonya
dan ia pun tidak mendapatkan penghasilan. “kalau hari hujan dan hujannya cuma
gerimis, saya masih berjualan. Kalau hujannya deras, ya,,, pulang, tidak bisa
berjualan”, tukasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar