Halaman

Daftar Blog Saya

  • semangatku - ada setitik harapan yang ingin ku ubah jadi sehamparan lautan ada secuil semangat yang ingin ku ubah menjadi segunung impian hmmm, semua inginku hanya mimpik...
    12 tahun yang lalu
  • - Cinta adalah misteri dalam hidupku... yaNg Tak PeRnaH ku Tau akiRnya.. NamUn Tag SePertI cInta Ku Pada DiRimu.. yaNg Harus TergenaPi Dalam kiSah Hidup kU......
    13 tahun yang lalu
  • LUPH - I LOVE FAMILY
    13 tahun yang lalu

Sabtu, 07 Juli 2012

Biografi Saifun Arif Kojeh Oleh Eviana


Saifun Arif Kojeh



Saifun Arif Kojeh adalah seorang penulis yang tak lelah untuk menulis karena menulis baginya sebuah kenikmatan. Ia adalah seseorang yang tak lelah-lelahnya untuk menemukan jati dirinya lewat tulisan. Ia mencoba menjadi seorang penulis yang punya jiwa yaitu jiwa penulis. Begitulah beberapa untaian kata yang diukir oleh penulis yang sering disebut Sarif ini di suatu jejaring sosial facebook. Tepatnya di bagian profil mengenai dirinya.

Saifun Arif Kojeh adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977.  Terlahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Raden Koman Sahar dan Utin Jetiah Bujang Saheran. Pertama kali ia menginjakkan kaki di dunia pendidikan di SD Negeri 20 Durian Sebatang yang sekarang berganti nama SD Negeri 09 Durian Sebatang dan tamat tahun 1991. Kemudian melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 2 Simpang Hilir yang sekarang berganti nama SMP Negeri 1 Seponti dan tamat tahun 1994. Setelah itu ia melanjutkan lagi pendidikannya di SMA Negeri 2 Pontianak dan tamat tahun 1997. Ia juga seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Universitas Tanjungpura Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia dan Daerah yang  meraih gelar Sarjana Pendidikan pada bulan Juni 2001. Pada tahun 2009, ia menikahi seorang gadis asal Balai Berkuak yang bernama Setevani dan dikarunia seorang anak perempuan yang bernama Ayatul Husna. Sekarang anaknya berusia 1 tahun sebelas bulan yang selalu memberikan kelucuan dan canda tawa dalam kehidupannya.
Lelaki yang tidak berkumis itu adalah sosok yang periang tetapi bisa juga pendiam, tergantung situasi dan kondisi hatinya. Ia tidak mau menunjukkan persoalan kehidupannya kepada orang lain. Sebisa mungkin ia tutupi serapat mungkin. Jadi, orang menilai ia tidak memiliki masalah, padahal ia memiliki masalah. Baginya, masalah yang ia hadapi adalah masalahnya, ia yang harus menyelesaikan masalahnya, sekecil apapun itu. Sedapat mungkin orang lain tidak boleh tahu dengan masalah yang sedang ia alami. 
Sarif juga memiliki kelebihan yang mungkin tidak semua orang lain miliki. Penulis yang rendah hati itu tidak pernah sombong dengan kelebihan yang ia miliki. Ia memiliki kelebihan dalam menulis. Ketika ia menulis, ia menyusun cerita dengan menata alurnya sedemikian rupa agar enak dibaca oleh pembaca dan bisa memberikan manfaat kepada pembacanya. Ia juga terbuka menerima masukan dan kritikan tentang kepenulisan demi perbaikan tulisannya. Sarif sering menata ulang tulisannya kemudian ia baca kembali sampai menemukan tulisan yang terbaik. Kemudian, ia juga cenderung membuat tulisan yang berwarna lokal dengan tujuan untuk mengenalkan warna lokal itu kepada pembaca (baik bahasanya, budaya, adat-istiadat, dan sebagainya). Selain itu, ia juga berusaha untuk melestarikan kebudayaan dan adat-istiadat setempat.
Tidak jauh berbeda dari anak kecil lainnya. Kehidupan semasa kecil lelaki yang berambut kaku dan keras itu begitu menyenangkan dan ada juga yang menyedihkan. Tepatnya ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Waktu ia duduk  di kelas 1 sampai kelas 2 Sekolah Dasar, Sarif pernah merasakan hal yang sangat mengiris hati. Ia pergi ke sekolah dengan tas kantong plastik berwarna hitam yang diikat dengan tali rafia dan kakinya tanpa menggunakan sepatu (kaki telanjang). Hal ini dikarenakan sekolahnya berada di sebuah perkampungan yang jauh dari kota dan tenaga pengajarnya pun sedikit bahkan hampir tidak ada. Hanya ada satu orang guru yang mengajar di sekolahnya. Akan tetapi, jauhnya perjalanan yang ditempuh dengan kaki yang langsung berhadapan dengan tanah berlumpur dan tas yang tidak layak pakai sama sekali tidak pernah menyurutkan semangat Sarif untuk meraih pendidikan.
Kembali kepada guru mengajar di sekolahnya. Di sekolahnya hanya satu tenaga pengajar. Dari ia kelas 1 SD sampai menjelang Sarif naik kelas 3 SD. Saat duduk di kelas 4 SD, guru tersebut berpindah tugas. Digantikan oleh guru yang lain tetapi tidak menambah jumlah guru yang mengajar di sekolah tersebut. Guru tersebut hanya mengajar sampai kelas 4 SD saja. Kelas 5 SD dan 6 SD tidak. Masa kerja guru tersebut juga tidak bertahan lama hanya berlangsung satu tahun saja. Saat naik Kelas 5 SD, ia menunggak satu tahun. Sekolahnya libur secara terpaksa dikarenakan tidak adanya guru yang mengajar sampai Kelas 5 SD dan Kelas 6 SD. Ternyata guru tersebut berpindah tugas lagi. Digantikan lagi dengan guru yang lain. Guru yang datang ini bersedia mengajar dari kelas 1 SD sampai kelas 6 SD, walaupun dia hanya sendiri. Nama guru itu adalah Hamsen.  Sarif yang menunggak satu merasa senang, karena ia dapat melanjutkan lagi sekolahnya sampai tamat.
Seperti yang kita ketahui, bulan Desember adalah bulan musim penghujan, “jika sudah bulan Desember sekolah kami digenangi air.” Begitu ceritanya kepada saya ketika wawancara melalui media online. Jadi, tiba waktunya pulang sekolah ia membuka baju dan langsung berenang. Tidak jarang sampai ke rumah sudah basah kuyup. Tapi, ia tidak pernah memikirkan air yang membanjiri tempat ia menimba ilmu pendidikan itu. Masa kecil adalah masa-masa indah, tidak pernah ada beban yang mengganggu pikirannya. Itulah yang dirasakan Sarif ketika itu.
Sarif juga tidak pernah absen untuk bermain bersama teman-temanya. Baik permainan yang dilakukan di daratan maupun di laut. Jika mereka bermain di daratan, Sarif dan teman-temanya memainkan kacok gelang (gelang panjang, pendek, maupun giling), main guli, main layang-layang, main totok canting, main lempar canting, main pencuri lima juta, dan lain sebagainya. Kalau di lautan permainannya adalah main tampok antu. Dalam permaianan itu,Kita membawa batang tanaman atau bunga kembang sepatu yang ditancapkan di dalam air, lalu teman-teman mencari batang tanaman atau bunga kembang sepatu yang kita tancapkan tersebut. Kalau tidak ketemu kita terus menancapkan batang tanaman atau kembang sepatu tersebut. Kalau ditemukan teman, maka teman tersebutlah akan menancapkan batang tanaman atau kembang sepatu tersebut, kita yang mencarinya,” ucap Sarif  menceritakan cara bermain tampok antu. Meskipun begitu ia tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Jika hari mulai menjelang sore, ia pergi mengaji ke rumah guru ngaji dengan membawa obor yang terbuat dari bambu. Biasanya ia dapat giliran yang terakhir setelah teman-temannya selesai. “Sungguh senangnya masa itu,” ujar lelaki yang murah senyum itu.
Setelah ia tamat Sekolah Dasar, Sarif melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 2 Simpang Hilir  yang sekarang namanya berganti menjadi SMP Negeri 1 Seponti. Sarif sekolah bersama empat temannya yaitu Usman, Latif, Suparto, dan Edi Irawan. Jarak SMP dan rumah Sarif cukup jauh. SMP itu berada di Paket Lima yang dikenal dengan Seponti Jaya. Transportasi yang digunakan waktu itu adalah transportasi laut dan tidak ada akses darat. Dari kampungnya menuju sekolah menggunakan perahu motor sekitar 1,5 jam. Sarif dan teman-temannya memutuskan untuk tinggal di perumahan PU yang letaknya di seberang sekolahnya. Dengan alasan jarak tempuh untuk pergi ke sekolah tidak terlalu jauh. Antara perumahan PU dan sekolah itu hanya dibatasi sungai kecil yang bermuara ke laut (anak Sungai Kapuas). Jadi, jika ke sekolah ia dan teman-temannya harus berjalan kaki selama dua puluh menit.
Hal yang paling menyedihkan ketika dia dan teman-temannya masih menginjak bangku SMP, yaitu saat tibanya musim kemarau panjang. Air sungai yang terbilang kecil mengering. Sumur pun tidak mampu menahan banyak debit air. Debu jalanan beterbangan bahkan ada yang sampai memenuhi atap rumah yang mereka diami. Kadang demi menghemat air, mereka hanya membasahi kepala dengan sedikit air dan mengelap tubuh dengan sedikit air. Selebihnya diberi pewangi. “Pokoknya berat sekali sekolah waktu itu, saya dan teman-teman rasakan,” ucapnya. Hal itu diperparah lagi dengan lantai rumah yang mereka diami itu terbuat dari kayu mentibu (kayu yang terkenal gatalnya). Sehingga Sarif dan teman-temannya terkena gatal-gatal.
Selama sekolah dan menginap di perumahan tersebut, Sarif sempat terkena penyakit kulit sejenis cacar air yang kulitnya selalu lengket. Sehingga ia tidur hanya menggunakan kain sarung dan harus berhati-hati agar kain sarung tidak lengket ke kulit. Bahkan, ia pernah tidur dengan alas daun pisang dikarenakan penyakit itu semakin parah. Akan tetapi, ia tetap sabar dan tabah menjalaninya. Sarif tetap semangat sekolah. Ia tidak pernah mengeluh dan putus asa. Sarif juga tidak pernah kalah dengan penyakit yang ia derita. Ia selalu bertekad. Ia harus menjadi orang yang berhasil dalam bidang ilmu pengetahuan. Berkat perawatan intensif dan telaten serta selalu setia tidak memakan makanan yang dilarang selama mengidap penyakit itu, akhirnya ia sembuh. “Semua itu tidak lepas dari pertolongan Allah,” ujarnya ketika wawancara beberapa waktu lalu. Sarif pun tidak pernah lupa untuk bersyukur. Ia bersyukur bahwa Allah masih sayang dengannya dan ia diberikan kesempatan untuk menjalani kehidupan ini dengan baik.
Sarif mendiami perumahan PU itu hanya bertahan empat bulan. Memasuki bulan kelima, temannya yang bernama Latif dan Usman berhenti sekolah dan kembali ke kampungnya. Edi Irawan pindah ke Paket Enam yang dikenal orang dengan sebutan Sungai Sepeti. Sarif dan Suparto pun ikut angkat kaki dari rumah itu. Mereka pindah ke rumah Wak Anjang Abu. Di rumah Wak Anjang Abu Sarif hanya menetap sebentar. Sampai ia naik kelas 2 SMP.
Sarif adalah anak yang bisa dibilang cerdas. Pada kelas 1 SMP semester 1 ia menduduki peringkat kelas yang kelima. Berkat kerja keras dan belajar yang giat, nilai Sarif mengalami peningkatan pada semester 2. Ia berhasil mengalahkan 2 temannya dan ia menduduki peringkat kelas ketiga. Waktu itu yang terpikir dalam benak lelaki ulet dan tekun itu adalah ia ingin berhasil dalam sekolah, bermain hanya sekadarnya saja. Permainan yang ia ikuti hanya permainan voli dan sesekali bermain sepak bola. Pada kelas 2 SMP, Suparto berhenti sekolah dan pulang kampung seperti dua temannya yang terlebih dahulu memilih pulang kampung.
Sarif  mengungsi ke Paket Enam, tempat Edi Irawan tinggal, yaitu rumah Bujang Bongek. Sarif berjumpa lagi dengan Edi Irawan di kampung tersebut. Transportasi yang ia gunakan untuk sekolah dari Paket Enam ke SMP adalah sepeda yang ada boncengannya yang dibelikan oleh sang ayah. Dengan alasan agar ia dapat berboncengan dengan Edi Irawan. Karena, antara Sarif dan Edi Irawan adalah sepupuan. Ayah Sarif dan Ayah Edi Irawan punya pertalian abang-adik. Mereka diberi satu sepeda yang berboncengan gunanya untuk menghemat transportasi selama mereka sekolah. Dikarenakan, jarak dari Paket Enam ke SMP kurang lebih 15 km dan capek berboncengan terus. Akhirnya,  Sarif  dan Edi Irawan mengendarai sepeda masing-masing.
Tanpa menghiraukan panas ataupun hujan, setiap hari dalam waktu satu tahun itu Sarif dan teman-temannya mengayuh sepeda tanpa lelah untuk pergi ke sekolah. Selama itu juga ia dan teman-temannya mengalami masa sulit atau menyedihkan, yaitu bila musim penghujan tiba. Jalanan yang  dilalui untuk pergi ke sekolah becek dan penuh lumpur. Sehingga sepeda yang mereka kendarai harus dilepas slebornya. Selain itu, Sarif dan teman-temannya juga harus menyediakan satu baju kotor untuk percikan ban sepeda yang tanpa slebor. Jika slebornya tidak ditanggalkan, sepedanya pasti tidak bisa dikendarai. Seragam sekolah dan buku disimpan dalam tas. Bahkan, jalan yang biasa ia dan teman-temannya lalui ke sekolah rusak parah, tidak bisa dilalui. Sarif dan teman-temannya terpaksa mengangkat sepeda mereka masing-masing untuk melewati jalan tersebut. Jalan rusak parah itu sejauh 1 km. Jarak yang cukup jauh, apalagi harus mengangkat sepeda. Akan tetapi, mereka sangat tangguh menghadapi hal yang seperti itu.
Bila musim kemarau, Sarif dan teman-temannya harus menghirup debu-debu jalanan yang melayang-layang semaunya. Hal ini dikarenakan jalan yang mereka lalui adalah jalan tanah. Lelaki yang tidak pernah menyerah ini tidak pernah mengeluh dan tetap menjalani kehidupan seperti itu dengan sabar dan tabah. Walaupun dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan, nilai Sarif tetap bagus. Pada semester 1 kelas 2 SMP ia menempati peringkat kelas kesatu dan peringkat harapan ketiga umum untuk peringkat sekolah, sedangkan semester 2 kelas 2 SMP Sarif tetap menempati peringkat kelas kesatu dan peringkat ketiga umum untuk peringkat sekolah.
Perjalanan pendidikan  Sarif tidak berhenti sampai di situ. Ketika ia duduk di kelas 3 SMP, Sarif  untuk ke sekian kalinya pindah rumah lagi. Sarif menginap di rumah kenalan ayahnya yang merupakan seorang anggota polisi, bernama Mahrus Effendi. Rumahnya berada di Paket Lima. Jarak rumah Mahrus Effendi, tempat ia tinggal tidak jauh dari sekolahnya. Hanya berjarak kurang lebih 200 meter.
Saat Kelas tiga SMP, Sarif sedikit berlega hati karena ia tidak akan pernah absen sekolah, walaupun musim kemarau maupun musim penghujan. Karena, jarak rumah yang didiami ke sekolahnya sangat dekat. Cukup ditempuh dengan jalan kaki sudah sampai. Saat itu juga, Sarif benar-benar belajar sangat giat. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan terbaik itu. Ia belajar menggunakan pola kerucut terbalik. Maksudnya, pelajaran yang sulit dalam mata pelajaran di SMP harus ia taklukkan dengan memberikan waktu belajar banyak dari mata pelajaran yang sedang dan mudah baginya. Kerangka berpikirnya waktu itu adalah jika pelajaran sulit saja sudah ia kuasai, apalagi pelajaran sedang dan mudah, pasti ia kuasai juga. Jika pelajaran yang ia anggap sulit sudah dikuasai, insya allah nantinya ia akan lulus dan berhasil di setiap pelajaran tersebut. Selain itu, Sarif  juga belajar meringkas materi pelajaran yang dihapal dalam bentuk frasa dan kata, agar mudah dihapal. Untuk pelajaran yang mengandung rumus, rumusnya ia hapal dan ia sering latihan mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan rumus itu. “Kalau belum ketemu hasil dari soal itu, saya akan terus mengerjakannya sehingga saya menemukan hasilnya,” ucap Sarif yang sekarang menjabat sebagai guru di SMA Negeri 1 Simpang Hilir. Sarif juga tidak lupa membuat jadwal belajar agar ia dapat mengatur kapan waktu belajar, istirahat, dan bermain. Ia belajar setiap hari. Apa yang ia lakukan selama itu berhasil dan hasilnya sungguh luar biasa. Pada saat semester satu Kelas 3 SMP, Sarif menempati peringkat kesatu di kelasnya dan peringkat kesatu umum peringkat sekolah. Selain itu, Sarif lulus dengan nilai yang terbaik, yaitu ia menjadi peringkat kesatu rayon SMP pada ujian nasional saat itu.
Sarif melanjutkan lagi pendidikannya di SMA Negeri 2 Pontianak. Ia mengungsi dari kampung halamannya. Meninggalkan kedua orang tua dan saudara-saudaranya demi meraih cita-citanya. Awalnya, Sarif tinggal di rumah Pamannya yang bernama Cik Samad. Ia sadar diri bahwa ia hanya menumpang tinggal, jadi ia harus kerja. Aktivitas yang ia lakukan seperti biasa. Sayangnya, Sarif tidak bertahan lama, ia hanya bertahan selama tujuh bulan saja . Setelah itu, ia pindah ke rumah yang dibelikan oleh ayahnya secara kredit yang terletak di Jeruju, Perumnas II, Pontianak. Di SMA itu, persaingan nilai sangat ketat. Sarif pun berusaha semaksimal mungkin agar nilainya tidak jatuh. Tapi, sempat juga ia jatuh. Setelah itu, ia bangkit lagi dari kejatuhan. Berusaha memperbaiki nilainya yang jatuh. Selain itu, ia juga tidak melewatkan kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolahnya. Kegiatan ekstrakurikuler yang diikutinya di SMA hanyalah pramuka yang diwajibkan dan ikut Rohis (Rohani Islam). Di SMA itulah Sarif mulai belajar menulis meskipun hanya coret-coret. Coret-coret yang ditulisnya dapat berupa puisi sederhana, ungkapan hati, kesal, senang, dan sebagainya.
Persaingan sangat ketat, nilainya hanya masuk kategori sedang peringkat belasan dan kadang kala jatuh juga ke peringkat dua puluhan. Hal ini terjadi mungkin kurangnya ia beradaptasi dengan kehidupan kota.
Di kelas dua SMA, ada suatu pengalaman lucu yang selalu ia ingat sampai sekarang. Ketika itu ia berkelompok untuk mengerjakan prakarya. Dalam kelompok itu Sarif satu-satunya lelaki selebihnya adalah wanita. Jadi, teman-teman kelompoknya dalam menuliskan namanya dalam nama anggota kelompoknya menjadi Sari. Biar terlihat bahwa kelompok tersebut seluruhnya beranggotakan wanita. Saat seorang guru kesenian mengabsen nama anggota kelompok mereka. Guru itu kaget saat memanggil nama Sari, ia bingung sejenak mengapa Sarif yang mengacungkan telunjuknya. Sarif  dan teman-temannya tidak dapat menahan tawanya. Rupanya ia dikerjakan oleh teman-temannya. Teman-teman Sarif pun memanggilnya dengan nama Sari. Yang lebih lucu lagi, nama panggilan Sari tidak hanya ia saja, di sekolah itu ada juga seorang wanita dipanggil Sari. Saat nama Sari dipanggil, Sarif  dan teman wanita yang bernama Sari itupun menoleh ke arah yang sama. Melihat hal tersebut teman-temannya tidak bisa menahan tawanya. Rupanya Sari ada kembarannya.
Saat kelas 3 SMA, Sarif masuk Jurusan Bahasa (Kelas A). Di kelas 3 inilah, Sarif banyak menulis puisi dari tangan kreatifnya. Akan tetapi, puisinya hanya sebatas konsumsi pribadi dan sesekali ia berikan kepada teman-temannya untuk dikomentari. Puisi yang pilihan kata-katanya masih sederhana, yang sesuai dengan kemampuannya waktu itu. Suatu ketika guru Bahasa Indonesianya bernama Bu Urai Purnamawati bertanya kepada teman-temannya,"Siapa menurut kalian yang berpotensi menjadi sastrawan nanti? Teman-teman Sarif serentak menjawab,"Sarifudin dan Heni." Guru itu hanya tersenyum. Mendengar kata seperti itu semangat menulis Sarif  semakin membara untuk menjadi seorang penulis. Beberapa puisi ia ketik menggunakan mesin ketik dan dijilid. Kegiatan menulis itu terus berlanjut. Meskipun ia mulai banyak menulis, Sarif juga tetap berprestasi. Di kelas 3, ia mampu menduduki peringkat kelas ketiga pada semester 1 dan peringkat kelas kelima di semester 2.
Penulis yang rendah hati dan bersahaja itu juga seorang mahasiswa Universitas Tanjungpura jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama ia kuliah, ia senang mengikuti organisasi-organisasi kampus. Sarif mengikuti Sanggar Kiprah di kampus FKIP Untan. Akan tetapi, ketika ia mengikuti sanggar kiprah, semuanya kurang berjalan baik. Ia pun belajar autodidak. Sarif  juga masuk At-Tarbawi, tapi tidak berlangsung lama dan ia memutuskan untuk berhenti. Lalu, ia menjabat sebagai pengurus di Himbasi. Ia dipercayakan untuk menjadi seorang bendahara. “Sarif adalah bendahara yang sangat jujur,” ujar seorang temannya yang bernama Dedy Ari Asfar. Setiap kegiatan yang diadakan Himbasi, ia selalu menjadi panitianya. Sarif juga pernah menjadi Ketua Lomba Baca Syair se-Kalimantan Barat. Ia memang sibuk dengan berbagai kegiatan organisasi, tetapi  Sarif tidak melupakan tugas pokoknya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Jadi, ia sekuat tenaga tetap mempertahankan IPK-nya dan tidak boleh di bawah 3,00. Selama kuliah lelaki yang ramah dan bersahaja ini selalu menjalin hubungan yang baik dengan adik tingkat, senior, dan dosen yang mengajarnya. Pada tahun 1999, Sarif terpilih menjadi Ketua Sanggar Kiprah. Kepemimpinan Sanggar Kiprah ia jalankan selama satu tahun sampai tahun 2000. Tahun 2000 kepemimpinan Sanggar Kiprah jatuh ke tangan M. Ridwan. Selain itu, Sarif juga mengikuti organisasi luar yaitu IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu).
Saat ia kuliah, ia pernah mendapat beasiswa selama 2 tahun yaitu beasiswa BKM. Teman-teman kampusnya juga mengenal Sarif sebagai penulis, karena ia sering menulis. Tulisan pertama Sarif menembus surat kabar adalah puisi. Selain itu, Sarif  juga digelari Khahlil Gibran Himbasi, karena ia suka membaca buku Kahlil Gibran, yang bahasanya sungguh menarik dan unik untuk dinikmati. Tulisan pertamanya yang menembus surat kabar adalah puisi "Kau Menjadikan Aku". Tahun 2009, ia mulai merambah lagi menulis cerita pendek, walaupun sangat sederhana. Cerpen pertama yang ia tulis adalah "Tangisan Oh Tangisan", sekarang judulnya sudah berganti "Tangisan Berarti". Sarif juga mahasiswa yang berprestasi, hal itu terbukti dengan kemampuannya menyelesaikan studi tercepat di program studi bahasa Indonesia setelah temannya yaitu Dedy Ari Asfar.
Ia mulai senang menulis sejak Sekolah Menengah Atas sampai sekarang. “Proses menulis sebenarnya sudah saya lakukan sejak di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama khususnya dalam kegiatan mengarang”, ucapnya. Akan tetapi yang benar-benar serius untuk menekuni kegiatan kepenulisan yang bergenre sastra bermula sejak Sekolah Menengah Atas. Awalnya tulisannya baru sekadar coretan-coretan saja dan mulai ada warna karya sastra sejak kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Buku pelajaran yang ia suka ketika masa sekolah adalah buku Bahasa Indonesia, dan buku-buku lainnya yang dapat menambah ilmu pengetahuannya. Sedangkan buku pelajaran yang kurang disukainya adalah buku pelajaran kimia. Buku yang paling mengesankan penulis ini adalah novel Ayat-Ayat Cinta dan buku-buku lainnya yang dikarang oleh Habiburrahman El Shirazy serta buku-buku agama. Bacaan favorit yang selalu ia baca adalah buku karya sastra dan buku pengetahuan yang menambah ilmu pengetahuannya.
Setiap orang pasti memiliki kebiasaan dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu juga dengan penulis yang bersahaja ini. Kebiasaannya dalam kegiatan menulis adalah ia akan menuliskan apa saja yang ada dalam pikirannya. Kemudian tulisan itu ia tata untuk menjadi tulisan yang lebih baik. Selain itu, penulis ini juga tidak melupakan melakukan kegiatan membaca. Jadi, dalam satu hari ia harus melakukan kegiatan membaca apa saja dan menulis apa saja. Walaupun tulisannya entah berwujud apa, yang penting ia menulis, menulis, dan terus menulis. Kemudian kebiasaan lain yang ia miliki adalah membuat kliping koran, terutama karya sastra tetapi tidak juga menutupi kemungkinan yang berisi ilmu pengetahuan. Lalu, hasil kliping itu untuk ia baca demi menambah ilmu pengetahuannya. Kemudian dia juga sharing pendapat tentang kegiatan menulis dengan teman-temannya. Masih banyak lagi kebiasaannya yang lain.
Sebuah tulisan karya sastra yang baik dan menarik tidaklah tercipta dengan sendirinya. Tulisan itu pasti melalui proses kreatif dari tangan-tangan kreatif seorang penulis. Begitu pula dengan Sarif. Untuk menulis sebuah karya sastra, ia terlebih dahulu melakukan pengamatan kepada suatu objek yang menjadi inspirasinya. Setelah itu, ia mulai menulis. Kemudian, ia mengendapkan tulisan itu. Dalam waktu pengendapan, Sarif menata alur cerita untuk dibuat semenarik mungkin. Ia tidak pernah lupa memperhatikan ceritanya agar bisa menarik untuk dibaca oleh pembacanya.
Penulis yang ulet dan giat ini, banyak terinspirasi dari kisah-kisah di kampungnya yang dapat menginspirasi ia dalam menulis, dapat berupa keindahan alam di sekitar kampungnya, mitos yang beredar di kampungnya, dan dapat juga berupa adat-istiadat yang menarik untuk diangkatnya ke dalam tulisan. Semua kisah itu ia tata ulang dengan alur cerita yang imajinatif, tapi faktanya ada, seperti cerpen "Kempunan" berisi tentang mitos yang beredar di kampungnya, dan "Antu Bengkek" berisi tentang kejadian yang pernah terjadi di kampungnya dan juga mitos-motos lainnya yang beredar di kampungnya.
Karya yang telah ia tulis dengan tangan kreatifnya berupa puisi, cerpen, cerber, novel mini, novel, Diari Seorang Penulis, Prosa Kehidupan, Prosa Mimpi, cerita rakyat, dan sekarang menulis artikel populer. Dalam dunia kepenulisan ia memiliki semboyan: “Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa.”
Karya-karya yang diciptakannya benar-benar membuahkan hasil yang indah. Dengan semboyan yang selalu menjadi motivator dalam hidupnya untuk dapat membuktikan bahwa ia adalah seorang penulis sejati. Hal itu tampak dari apresiasi yang diberikan kepada beberapa karyanya. Sarif sudah menulis beberapa cerpen, antara lain cerpen yang bertajuk Mutiara dalam Lumpur meraih Juara III dalam penulisan cerpen Islami yang diadakan Forpi Al-Ikhwan (At-Tarbawi) FKIP Universitas Tanjungpura.  Selain itu, ada beberapa cerpen dan puisinya masuk nominasi Hadiah Hescom 2008 (Malaysia). Kemudian, cerpen "Kempunan" memenangkan Hadiah Hescom 2009 dengan Kategori ACAS (Anugerah Cerpenis Alam Siber) dari Malaysia dan menerima hadiah sebesar RM 200.
Ia juga menulis sebuah cerpen tunggal yang berjudul Kembalinya Tarian Sang Waktu (Literer Khatulistiwa, Januari 2010). Kemudian, Sarif juga menulis beberapa puisi tunggal, antara lain  Tafakur Cinta (Pijar Publishing, 2006), Sembahyang Puisi, dan Menerjemahkan Rindu (Literer Khatulistiwa, Januari 2010). Sarif tidak cepat puas dengan beberapa hasil karyanya dan ia juga menulis beberapa kumpulan puisi dari puisi-puisi yang dibuatnya.
Penulis yang tak pernah lelah untuk menulis ini menambah lagi jumlah karya-karyanya dengan menulis antologi puisi dan antologi cerpen. Antologi yang ia tulis meliputi Bianglala (Antologi Puisi, BKK Bahasa Indonesia, 2001), Republik Warung Kopi (Antologi Puisi Delapan Penyair Kalbar, Pijar Publishing, 2011), Anugerah Khatulistiwa (Antologi Puisi, 2011), Deru Awang-Awang (Antologi Puisi, 2012). Antologi puisi Ketika Penyair Bercinta dan  Antologi Kun Payakun Cinta (Puisi Reliji Lintas Negara) berupa e-book disiarkan di evolitera.com. Puisinya juga masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008. Selain itu, ada beberapa antologi cerpennya seperti Matahari di Nusantara (Antologi Cerpen Mastera, Kemendiknas, 2010) dan Orang-Orang di Batas Garis (Antologi Cerpen, 2012), Astaghfirullah (Antologi Cerpen, 2012).
Ia juga menulis naskah teater. Naskah teater yang sudah ditulisnya seperti Siluet Biru, Titik Merah, Monolog Merah Putih, Pentingnya Pendidikan, Putri Dipanah Rembulan, Selembut Kasih Ibu, Kawin atau Pendidikan, dan Kemuliaan Kasih Ibu. Beberapa artikel yang ia tulis juga dipublikasikan di Majalah Pelita, Tanjungpura Post, Borneo Tribune, Equator. Cerita rakyatnya dipublikasikan di Borneo Tribune dan dapunta.com.
Beberapa karya besarnya berupa puisi, cerpen, antologi puisi diterbitkan di Jurnal Edukatif, Ketapang Pers, Tanjungpura Post, Pontianak Post, Pelita, Warta Lipan, Barometer, Equator, Borneo Tribune, bela, Koran Minggu Pagi Yogyakarta, dan cybersastra.net, fordisastra.com, esastera.com, kompasiana.com, dan lain sebagainya.
Hasil karyanya yang terbit dalam bentuk buku, antara lain: Bianglala (Antologi Puisi, BKK Bahasa Indonesia, 2001), Tafakur Cinta (Kumpulan Puisi, Pijar Publishing, 2006), Sembayang Puisi. Menerjemahkan Rindu (Kumpulan Puisi, Literer Khatulistiwa, 2010), Kembalinya Tarian Sang Waktu (Kumpulan Cerpen, Literer Khatulistiwa, 2010), Matahari di Nusantara (Antologi Cerpen Mastera, Kemendiknas, 2010), Republik Warung Kopi (Antologi Puisi Delapan Penyair Kalbar, Pijar Publishing, 2011), Anugerah Khatulistiwa (Antologi Puisi, 2011), Deru Awang-Awang (Antologi Puisi, 2012), Orang-Orang di Batas Garis (Antologi Cerpen, 2012), Astaghfirullah (Antologi Cerpen, 2012), Percaya Nggak Percaya Menulis Itu Mudah (Antologi Tulisan Motivasi, 2012), Cerita Rakyat dari Simpang (Kumpulan Cerita Rakyat, 2012).
Ia juga Pernah mengikuti pertemuan Mahasiswa Sastra Indonesia Tingkat Nasional di Pontianak pada tahun 1999 dan di Yogyakarta pada tahun 2000. Pernah diundang untuk mengikuti Lokakarya Apresiasi Sastra Daerah di Cipayung, Bandung yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional dan Sastrawan Horison pada bulan Agustus tahun 2006 dan di Cipayung, Bogor Jawa Barat pada bulan Desember tahun 2007, Mastera (Majelis Sastera Asia Tenggara) Cerpen 2008 pada tanggal 28 Juli sampai 2 Agustus tahun 2008 yang dihadiri empat negara, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapore. Sarif juga seorang anggota IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu), Mantan Ketua Sanggar Kiprah FKIP Untan dari tahun 1999 - 2000), Ketua Sakeni (Sanggar Kepenulisan dan Seni), Ketua Kompenkat (Kelompok Penulis Berbakat).
Selama perjalanan menjadi seorang penulis, karya yang paling berkesan untuknya adalah puisi yang berjudul "Kau Menjadikan Aku" dan Cerpen yang berjudul "Hanya Sebuah Nama".

Orang yang memotivasi ia dalam menulis adalah orang tua, istri dan anaknya serta teman-teman terdekat penulis. Selain itu, orang yang paling berpengaruh dalam membentuk hidup sang penulis adalah ayah dan ibunya. Ayahnya selalu membiasakan ia untuk jujur, tidak membuat masalah dengan orang lain, dan membiasakan mengerjakan sesuatu dengan jerih payah sendiri.
Sedangkan ibunya selalu mengajarkan kepadanya untuk memiliki semangat yang penuh kasih sayang dan kekeluargaan serta rela berbagi atas sesama. Kedua orang tuanya mengajarkan kebersamaan dalam kekeluargaan. Masih banyak lagi hal-hal baik yang diajarkan orang tuanya kepadanya untuk bekal kehidupannya.
Penulis yang yang menjadi inspirasinya adalah Bastian Tito, penulis novel Wiro Sableng, karena ia melihat Bastian Tito begitu lancarnya dalam menuangkan ide tulisannya. Ia ingin lancar menuangkan ide tulisannya seperti Bastian Tito. Tak pernah kering telaga idenya dalam menulis. Sedangkan Penulis yang menjadi favoritnya adalah Habiburrahman El Shirazy, karena Habiburrahman El-Shirazy menulis dengan penuh cinta kasih dalam setiap tulisannya dan tulisannya banyak menggugah sanubarinya ketika ia membaca karya Habiburrahman itu.
Selama menyandang predikat sebagai penulis, hambatan dalam menulis pasti selalu ada. Hambatan awal ia menjadi penulis adalah tata tulisnya masih belum terarah, perlu banyak belajar, belajar, dan terus belajar untuk menata tulisan tersebut. Suatu ketika puisinya yang berjudul "Kau Menjadikan Aku" yang disodorkannya ke sepuluh teman-temannya untuk diapresiasikan, dikatakan mereka puisi taik. Ia sabar menerima apresiasi dari teman-temannya dan terus saja ia menjalani kegiatan menulisnya dan bertekad dalam hatinya bahwa ia akan buktikan karyanya suatu saat layak untuk diapreasiasi.
Menulis butuh proses untuk menjadikan tulisan yang lebih baik. Sekarang  pun penulis tetap belajar, belajar, dan terus belajar. Menulis, menulis, dan terus menulis. Masih banyak lagi hambatan lain yang dihadapinya, tetapi hambatan itu tetap saja ia jalani dengan penuh sabar. Masalah ide, ia tidak kekurangan, karena alam sekitar banyak memberikan ia ide, pengalaman teman, apa yang dilihat dan dirasakan, bepergian, dan lain sebagainya juga sebuah ide yang bisa digarapnya. Selain itu, adat-istiadat dan budaya menarik juga untuk diangkatnya jadi sebuah ide. Jadi, intinya ide tidak ada masalah baginya dan bagi siapa saja yang menjadi penulis, terpenting ia mau mencoba menuliskannya. Yang menjadi masalah esensialnya adalah ia tidak mau menulis. Jadi, menulislah cara mengatasinya. Menulis, menulis, dan terus menulis.
Filosofi hidup Sarif adalah ia akan berusaha jujur dalam segala aspek kehidupan, walaupun sulit dilakukannya. Selain itu, ia berusaha untuk selalu menyelesaikan sebuah persoalan yang dihadapinya dengan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Di samping itu, apa yang bisa ia kerjakan, ia akan kerjakan dan jika ia tidak mampu mengerjakannya ia akan mengatakan tidak.
Dalam hidupnya, penulis yang sangat menjaga kejujuran ini memiliki motto hidup. Motto hidupnya adalah kejujuran merupakan hal yang termahal dalam hidup ini. Jadi, dalam menjalani kehidupan ini, ia berusaha untuk melakukan perbuatan jujur, walaupun sepahit apapun itu. Selain itu, ia selalu ingin berusaha membahagiakan kedua orang tuanya dan keluarga kecilnya yaitu anak dan istrinya. Kemudian, mottonya dalam menulis adalah "Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa." Kemudian diperkuat dengan mottor berikut: "Belajar, belajar, dan Terus Belajar", "Menulis, Menulis, dan Terus Menulis". Kata-kata itulah yang menjadi motivasi untuk ia menggapai apa yang menjadi impiannya.
Impiannya yang belum tercapai sebagai penulis adalah ia ingin menjadi penulis yang go internasional dan ia ingin menginjakkan kakinya di tanah Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand, dan lain sebagainya. Ia juga memiliki harapan ke depan. Harapannya dalam kehidupan adalah ia ingin membahagiakan keluarganya. Kemudian, harapannya dalam kepenulisan adalah semoga hasil karyanya dapat memberikan manfaat kepada orang lain (pembaca) dan bisa menjadi penulis yang disenangi pembacanya. Untuk ke depannya, ia berharap dapat menjadi penulis yang benar-benar menjiwai tulisan dan memberikan manfaat bagi pembaca dalam karya sastranya, serta semoga ia bisa jadi penulis yang go internasional. Itu adalah harapan dari penulis yang selalu menulis dan menulis tanpa mengenal lelah.
Menurut salah satu teman Sarif yang juga Sastrawan Kalimantan Barat, sebut saja Pay Jarot Sujarwo. “Saifun Arif kojeh orangnya keren, ia adalah orang yang setia dalam proses kepenulisan sastra di Kalimantan Barat. Domisilinya yang jauh dari pusat kota Pontianak, yakni Kabupaten Kayong Utara tak membuat semangat menulisnya surut. Saifun Arif Kojeh juga dikenal sebagai sastrawan yang sederhana serta bersahaja,ujarnya ketika wawancara melalui media online beberapa waktu lalu.
Sarif juga seorang Pengawai Negeri Sipil yang sekarang bertugas sebagai tenaga pengajar di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Simpang Hilir. Ia mengajar di kelas 3. Selain, sebagai guru Bahasa Indonesia ia juga dipercayakan menjadi Waka Kesiswaan di SMA tersebut. Ia tidak hanya seorang penulis, ia juga seorang pendidik anak bangsa. Ia sudah 8 tahun 5 bulan berkecimpung sebagai pendidik anak bangsa.